“SAYA kan bukan pegawai negeri, jadi boleh menerima gratifikasi…”

Apakah pernyataan tersebut dibenarkan secara aturan Slot Via Qris perundang-undangan?

Mari kita tengok landasan hukum terkait larangan menerima gratifikasi pada Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut berbunyi: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Ada yang menarik untuk dicermati dalam pasal tersebut yaita frasa “pegawai negeri”. Ternyata subjek hukum dari pasal 12B itu, bukan pegawai negeri sipil (PNS), melainkan pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Tidak adanya kata “sipil” dalam redaksi tersebut, yang memungkinkan subjek hukumnya akan terbatas kepada penyelenggara negara dan PNS, bukan karena penyusun undang-undang terlupa menambahkan atau naskah salah ketik.

Jawabannya, ada di Pasal 1 angka 2 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Undang-undang mengatur lebih luas bahwa pegawai negeri, meliputi:
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang tentang Kepegawaian,
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP,
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah,
Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah,
Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Dari aturan tersebut kita bisa memahami bahwa subjek hukum gratifikasi, bukan hanya penyelenggara negara dan PNS, melainkan seperti tenaga kontrak, honorer, P3K, pegawai BUMN, pegawai BUMD dan pegawai korporasi manapun yang menerima bantuan dari keuangan negara/ daerah atau menerima modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Untuk itu, tidak ada alasan pembenaran bagi semua pegawai negeri untuk boleh menerima gratifikasi dengan dalih bukan PNS.

Pembalikan beban pembuktian

Disebutkan pada Pasal 12B ayat 1 huruf (a) dan huruf (b) UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999, bahwa untuk hadiah yang diterima senilai Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian gratifikasi bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifiaksi (huruf a).

Sementara itu, hadiah yang diterima senilai kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi suap dilakukan oleh penuntut umum (huruf b)

Ketentuan pada pasal tersebut lebih dikenal dengan istilah “pembalikan beban pembuktian” atau juga sering disebut “beban pembuktian terbalik”.

Jenis pembuktian tersebut mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau membuktikan secara negatif (sebaliknya) terhadap dakwaan penuntut umum.

Memang, ketentuan itu sebenarnya berpihak pada terdakwa, karena dia mempunyai hak untuk membuktikan tidak melakukan korupsi. Di sisi lain, dia wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya yang diduga berasal dari gratifikasi.

Namun, jika harta benda tersebut tidak berhasil dibuktikan berasal dari sumber yang sah, unsur pidana gratifikasi otomatis terpenuhi meski penuntut umum tidak berhasil dalam pembuktiannya.

Dalam beberapa kasus yang menggunakan Pasal 12B, penyidik KPK menyita harta benda terdakwa yang diduga hasil gratifikasi ilegal meski mereka berkilah: harta benda tersebut diperoleh bukan dari gratifikasi ilegal.

Dalam hal tersebut, mereka tidak perlu khawatir harta bendanya hilang. Undang-undang menjamin hak pemilik harta benda sepanjang dapat membuktikan, harta benda itu bukan hasil gratifikasi yang dianggap suap. Maka, silakan dibuktikan sendiri oleh terdakwa di pengadilan!